Insan Kasih dan sayang mereka pada sesamanya bagai jagad tak berujung

Sunday, January 1, 2012

First Spirit and First Experience In Journalistic

Liputan pertama.... Tentunya pengalaman pertama dalam seumur hidup ini. Mengabadikan foto, lari kesana kesini mencari gambar terbaik, dan tentunya interviewing all people in walks of life.Hari itu, 23 September 2011, aku mendapatkan kesempatan itu. Kesempatan untuk liputan istighosah, donor darah, dan bakti sosial dalam memperingati hari ulang tahun sekolahku yang ke-20. Perasaan senang yang meluap-luap terasa di hati kecil ini. Namun ada sebuah momen sepersekian detik yang sangat terkenang hadir saat itu.


Aku menghela nafas panjang, mulai memainkan kamera digital berwarna silverku, dan menjalankan tugas liputan pertama ini. Istighosah dan donor darah berjalan dengan lancar. Dan seusai meliput kedua acara itu, aku berjalan menuju kelas, dan duduk di bangku. Kumenikmati hasil-hasil jepretan kameraku, dan memberi komentar sendiri. Kemudian aku berjalan lagi menuju tempat diadakannya bakti sosial, dan mengamati baterai kameraku yang hampir habis. “Ini mungkin cukup” kataku pelan.


Tugas ketiga kujalankan, aku mulai mengambil gambar, mewawancarai beberapa panitia, dan mengamati beberapa orang yang mendapat kupon berlalu lalang menerima beras sebesar 3kg. Terbersit pikiranku untuk mewawancarai salah satu orang yang mendapatkan bakti sosial itu. Akhirnya aku berlari menuju gerbang sekolah, dan meminta izin untuk keluar gerbang sekolah sekedar mewawancarai tukang becak yang mendapat baksos, namanya Pak Pasman. Begitu banyak pelajaran yang kudapatkan saat mewawancarai beliau. Di umur yang terbilang senja, beliau dan istrinya masih menjalankan tugas sebagai tukang becak demi memenuhi kebutuhan hidup. Kadang karena faktor usia, Pak Pasman jarang ‘narik’ becak karena kelelahan. Seusai mewawancarai Pak Pasman, aku berterima kasih padanya telah berbagi pengamalan hidup.


Akhirnya tugas ketiga telah ‘rampung’. Saat aku akan masuk kembali ke gerbang kelas, mataku tertuju pada nenek yang membawa tas kecil berwarna biru, dan sepertinya berharap sesuatu dengan berulang kali mondar mandir di depan gerbang sekolah. Akhirnya aku mendekati nenek yang bernama Sumiyati itu.

“Nenek... Rumahnya dimana?”

“Di Bandung Kencur, nak...”

Aku tersenyum, kemudian mulai mengutarakan maksudku, “Oh.... Nenek mau kemana?”

“Ini tadi mau ‘ngamen’ ke toko-toko, nak. Terus lewat sini kok banyak orang bawa beras... Siapa tahu saya juga dapat.”

Aku memekik pelan, kemudian terdiam beberapa detik. Nenek ini tidak mempunyai kupon, namun ingin mendapatkan baksos, bahkan saat duduk pun dia masih menoleh ke belakang, melihat orang-orang membawa beras. Akhirnya kualihkan perhatiannya dengan menanyakan sesuatu.

“Nenek biasanya ngamen dapat upah berapa?”

“Kadang 6000, kadang 7000, itu saja belum termasuk transport pulang naik angkutan.”




Akhirnya aku meminta nenek itu untuk menunggu sebentar. Sontak aku mengatakan padanya jika masih ada bagian, pasti akan diberi. Padahal, aku tidak tahu menahu tentang pembagian bakti sosial hari itu. Nenek itu mengangguk pelan padaku. Segera aku berlari, menuju ruang panitia, dan menceritakan nenek yang ada di depan gerbang itu.
“Jika baksos ini masih lebih, usai acara ini kita akan berkeliling lagi untuk membagikan baksos bagi yang membutuhkan.” Kata salah satu panitia bakti sosial itu.

“Kira-kira kapan batas waktu pengambilan baksos ini?” Tanyaku sekali lagi.

“Jam 11.”


Jam sebelas?? Aku memekik pelan dan melihat jam tanganku. Masih jam setengah 10, kasihan nenek itu menunggu di luar sana begitu lama. Aku tak bisa kembali ke sana dan memutuskan harapannya. Akhirnya aku berlari menuju kelas, tanpa berpikir apa-apa, tanpa memikirkan apa yang selanjutnya aku lakukan, sampai akhirnya aku bertemu teman-teman sekelasku.
“Ada yang punya nomor hapenya Kak Risky?” Tanyaku, masih terengah-engah akibat berlari tadi. ‘Apes’nya hari itu aku tidak membawa handphone.
“Di sebelah sana ada orangnya.” Kata Rini temanku, sambil menunjuk orang yang akhirnya kuketahui bahwa itu Kak Risky, pemimpin redaksi ekskul jurnalistik yang sedang berkumpul bersama teman-temannya.
Akhirnya aku menghampiri Kak Risky, kuceritakan semua peristiwa saat itu, dan kemudian kak Enny yang berada di sebelah kak Risky, memberikan suatu harapan padaku.

“Di kelasku masih ada kupon, dek. Sebentar aku ambilkan.”

Akhirnya kak Risky dan Kak Enny pergi mengambil kupon baksos. Namun mengapa mereka terlalu lama mengambilnya? Aku tidak bisa diam di sini, akhirnya aku berlari mencari mereka berdua, dan akhirnya Kak Risky dan Kak Enny sudah ada di dekat gerbang.
“Di mana orangnya dek?” Tanya Kak Risky.
Aku langsung keluar gerbang, mencari nenek-nenek itu, tapi sudah tidak ada. Aku bertanya pada seorang perempuan tentang keberadaan nenek itu, dan kuperlihatkan fotonya.

“Tadi ada di sini, Kak. Tapi sudah pergi ke Barat.” Jawabnya.

“Sudah lama?” Tanyaku sekali lagi, dan dia mengangguk.
Dengan wajah lesu, aku masuk kembali ke sekolah, dan berkata, “Orangnya sudah pergi, Kak”


“Sudah nggak papa, dek.” Hibur kak Risky padaku.


Kasihan Nenek Sumiyati. Dia menungguku terlalu lama, dan mungkin harapan nenek itu telah pupus. Satu lagi sebuah pelajaran berharga dalam hidup ini. I love interviewing people in walks of life.... Journey to the better life....